Semarang, Fokus9.com_ Politik algoritma terbukti efektif mengendalikan opini publik dalam Pemilu 2024 di Indonesia. Strategi ini menyasar target utama generasi Z dan pemilih pemula yang aktif di media sosial.
Politik ini memanipulasi alat-alat digital, terutama algoritma media sosial dan AI untuk manuver-manuver politik dan memanipulasi opini publik. Memanipulasi pencitraan dan memainkan emosi masyarakat.

“Ini adalah politik yang bergerak secara tak kasatmata, lewat sistem digital yang mengatur apa yang kita lihat dan rasakan.” kata pengamat politik sekaligus Dosen Tamu Universitas Diponegoro, Prof. Merlyna Lim
Merlyna Lim menyoroti masifnya politik algoritma yang memanipulasi alat digital, terutama algoritma media sosial, AI dan deepfake sebagai manuver politik.
POLITIK SUNDEL BOLONG, Manipulasi Citra dan Opini di Ruang Digital. Ancam Demokrasi?
Maraknya penggunaan Artificial Intelligence (AI) dan media sosial oleh politisi memiliki dampak terhadap pandangan dan pilihan politik masyarakat
Dengan dukungan modal finansial besar, strategi ini kian memperkuat politik pencitraan manipulatif. Memoles citra politisi hingga tampak sempurna secara digital tetapi menyembunyikan rekam jejak buruk dari figur politik (mengaburkan rekam jejak).
“Ada manuver yang saya namakan algoritma white branding, atau dalam istilah Indonesia ‘politik sundel bolong’. Depannya cantik dan seksi, tapi belakangnya bolong.” ungkap Merlyna dalam diskusi dan launching buku terbarunya “Social Media and Politics in Southeast Asia” di FISIP Undip, Rabu (7/5/2025).
Pengajar di Carleton University di Kanada ini menyebut manuver politik sundel bolong mencuci citra masa suram para political figure/kandidat. “Menampakkan citra ‘cantik’ di dunia digital, tapi belakangnya bolong atau memiliki rekam jejak yang suram.” tutur Merlyna Lim.
Pentingnya Regulasi dan Literasi Kritis Untuk Membatasi Manipulasi Algoritma
Adanya pergeseran bentuk disinformasi di media digital ini, Merlyna Lim menekankan pentingnya regulasi dan literasi kritis untuk membatasi manipulasi algoritma
Ia menilai perlu ada kebijakan publik yang mewajibkan platform digital memberikan transparansi terhadap algoritma. Selain itu, mendorong politisi untuk membatasi belanja iklan dan menandai konten promosi secara jelas.
Untuk itu, Merlyna juga mendorong adanya kewajiban pelabelan konten iklan politik, sebagai bentuk keterbukaan terhadap publik
“Sebenarnya kita tahu kalau transparansi algoritma itu sangat penting. Tapi masalahnya pemilik global platform ini terlalu berkuasa. Sehingga transparansi audit tidak pernah terjadi,” kata Merlyna, mengutif dari kompas.com.
Lebih jauh, Merlyna menegaskan pentingnya membangun nalar kritis di masyarakat sebagai perlawanan dari bawah (bottom-up) terhadap dominasi algoritma.
Upaya ini mulai dari membangun nalar kritis dalam sistem pendidikan baik formal maupun informal, sehingga hal itu bisa meng-counter dari manipulasi algoritma. “Jangan terbajak oleh algorithmic virality, ya,” tandasnya @ad













